Minggu, 17 Januari 2010

Cerita Sepotong Cireng


Cerita Sepotong Cireng
Kaki mungilnya mengajak menari
Menyusuri jalan hidup pinggir kota
Kakinya juga berlari
Mengejar mimpi diatas langit
Panas hujan jadi teman setia
Atas apa yang menjadi cita-cita
Debu bercampur asap hitam
Bukan alasan
Untuk tetap berlari menerjang
Hantaman ombak harus ditaklukan
.....
Senyum itu melegakkan
Meski rupiah tak kunjung menghampiri
Tawa itu pelepas kesedihan
Meski pulang dengan keranjang berisi
Karena mereka tak sendiri
Sayap-sayap malaikat menaungi
Jejak kecil yang penuh mimpi
....
Hidup ini memang harus diperjuangkan
Tak bisa diam dengan sejuta alasan
Padahal harap masih menari-nari diatas kepala
Berat itu pasti ada
Tapi Tuhan telah turunkan bala bantuannya
Sakit itu pasti datang
Tapi Tuhan telah siapkan penawarnya
......
Siapa sanggup berlari lagi?
Karena mimpi tak pernah mati
......
Untuk mereka
Para penjaja cireng keliling

"Cireng"


“Bade cireng teh?” suara mungil nan lesu menawari kami untuk membeli barang dagangan mereka. “teh cireng teh” seru yang satunya. “tos wengi masih jualan cireng? Kamana uwih na?” spontan kami bertanya. “Ka Ciparay teh”. Selarut ini mereka belum pulang ke rumah. Mereka berdalih belum mau pulang karena barang dagangan mereka belum habis, dan itu tandanya belum ada laba yang bisa mereka bawa pulang.

Cerita seorang Juju Juhana dan Imat


Mereka berdua masih duduk di kelas 4 SD. Sepulang sekolah, mereka harus membantu keluarga mereka dengan berjualan cireng keliling kota. Dengan harga 4-5 ribu per kantong plastik, mereka menjajakan cireng hingga ke daerah Bandung Utara. Laba mereka tidaklah besar, dan mereka juga harus menyisakan uang 10 ribu rupiah per hari untuk biaya transportasi pulang ke rumah. Disela-sela masa kanak-kanak yang seharusnya masa indah untuk bermain dan belajar, Juju dan Imat harus setia membanting tulang tiap hari guna membantu sang ayah untuk membantu perekonomian keluarga.

Imat


Imat
Sang Penjaja Cireng

Juju Juhana



Juju Juhana
Sang Penjaja Cireng

Poniman Sang Seniman Cilik


Lain lagi dengan Poniman. Bocah cilik asal Sukajadi ini mencari tambahan nafkah keluarga dengan menjadi pengamen jalanan. Dengan modal tepukan tangan dan gelas bekas air mineral ia berkeliling kota. Poniman pun senasib dengan Juju dan Imat. Masa kecilnya harus terenggut, bergelut dengan debu jalanan dan kerasnya kehidupan. Di malam yang begitu dingin. Malam dimana seharusnya mereka didekap hangat oleh ibunda tercinta dan belaian lembut sang ayah.

Belajar Tentang Semangat Hidup (epilog)


Belajar tentang semangat hidup dari mereka. Itulah yang saya rasakan. Sejatinya seorang yang berusia 19 tahun seperti saya ini sudah semestinya mampu mencoba menghidupi diri sendiri dan mengurangi ketergantungan kepada orang tua. Tapi nyatanya? Semua itu belum bisa saya lakukan. Merengek, menangis, meminta sesuatu kepada orang tua dengan mengandalkan belas kasihan masih suka saya lakukan. MALU. Itulah kata yang saya lempar ke wajah saya sendiri ketika melihat begitu semangatnya tiga ‘malaikat’ kecil di emperan toko tersebut. Juju dan imat sang penjaja cireng, dan Poniman sang Seniman cilik membuat saya kerdil dihadapan diri saya sendiri.
Itulah yang juga kita pertanyakan kepada diri kita masing-masing? Masihkah kita selalu mengeluh dengan segala kecukupan yang kita miliki? Jawabannya ada dalam hati kecil kita masing-masing. Wallahu’alam.